Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari – 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
Tahapan penyusunan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN
Penyusunan APBN
Pemerintah mengajukan Rancangan APBN dalam bentuk RUU tentang APBN kepada DPR. Setelah melalui pembahasan, DPR menetapkan Undang-Undang tentang APBN selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan.
Pelaksanaan APBN
Setelah APBN ditetapkan dengan Undang-Undang, pelaksanaan APBN dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Berdasarkan perkembangan, di tengah-tengah berjalannya tahun anggaran, APBN dapat mengalami revisi/perubahan. Untuk melakukan revisi APBN, Pemerintah harus mengajukan RUU Perubahan APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR.Perubahan APBN dilakukan paling lambat akhir Maret, setelah pembahasan dengan Badan anggaran DPR.
Dalam keadaan darurat (misalnya terjadi bencana alam), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya.
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN
Selambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir, Presiden menyampaikan RUU tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN kepada DPR berupa Laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Struktur APBN
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saat ini adalah:
Belanja Negara
Belanja terdiri atas dua jenis:
- Belanja Pemerintah Pusat, adalah belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Belanja Pemerintah Pusat dapat dikelompokkan menjadi: Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Pembiayaan Bunga Utang, Subsidi BBM dan Subsidi Non-BBM, Belanja Hibah, Belanja Sosial (termasuk Penanggulangan Bencana), dan Belanja Lainnya.
- Belanja Daerah, adalah belanja yang dibagi-bagi ke Pemerintah Daerah, untuk kemudian masuk dalam pendapatan APBD daerah yang bersangkutan. Belanja Daerah meliputi:
- Dana Bagi Hasil
- Dana Alokasi Umum
- Dana Alokasi Khusus
Pembiayaan
Pembiayaan meliputi:
- Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi Pembiayaan Perbankan, Privatisasi, Surat Utang Negara, serta penyertaan modal negara.
- Pembiayaan Luar Negeri, meliputi:
- Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan Pinjaman Proyek
- Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan Moratorium.
Asumsi APBN
Dalam penyusunan APBN, pemerintah menggunakan 7 indikator perekonomian makro, yaitu:
- Produk Domestik Bruto (PDB) dalam rupiah
- Pertumbuhan ekonomi tahunan (%)
- Inflasi (%)
- Nilai tukar rupiah per USD
- Suku bunga SBI 3 bulan (%)
- Harga minyak indonesia (USD/barel)
- Produksi minyak Indonesia (barel/hari)
Teori mengenai APBN
Fungsi APBN
APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.
APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya.
- Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
- Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar.
- Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.
- Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian.
- Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
- Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Prinsip penyusunan APBN
Berdasarkan aspek pendapatan, prinsip penyusunan APBN ada tiga, yaitu:
- Intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran.
- Intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara.
- Penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan penuntutan denda.
Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN adalah:
- Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan.
- Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan.
- Semaksimah mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan atau potensi nasional.
Azas penyusunan APBN
APBN disusun dengan berdasarkan azas-azas:
- Kemandirian, yaitu meningkatkan sumber penerimaan dalam negeri.
- Penghematan atau peningkatan efesiensi dan produktivitas.
- Penajaman prioritas pembangunan
- Menitik beratkan pada azas-azas dan undang-undang negara
DEFISIT & SURPLUS APBN
APBN Selalu Defisit, Beban Utang Membengkak
Terlepas dari efektivitas stimulus fiskal terhadap kinerja perekonomian, pada era pemeritntahan SBY-JK, APBN selama ini selalu direncanakan defisit. Defisit dibiayai dengan penjualan aset negara (privatisasi) dan penarikan utang baru.
Pada tanggal 24 Februari 2009 pemerintah mengajukan Dokumen Perubahan Asumsi Penerimaan dan Belanja Negara kepada Panitia Anggaran DPR RI. Wacana yang berkembang sebelumnya, pemerintah akan mengajukan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan 2009 (APBNP 2009). Namun kemudian dengan menggunakan pasal darurat, yaitu pasal 23 UU Nomor 41 Tahun 2008 tentang APBN 2009, akhirnya pemerintah hanya mengajukan Dokumen Perubahan Asumsi Penerimaan dan Belanja Negara.
Akan dilakukannya perubahan APBN 2009 oleh pemerintah sebenarnya sudah diprediksi oleh banyak pihak. Hal itu terkait dengan perubahan-perubahan ekonomi yang begitu cepat mulai kuartal III 2008. Ditengah gejolak ekonomi global yang dipicu oleh krisis keuangan Amerika Serikat, besaran asumsi makroekonomi yang dibuat oleh pemerintah dinilai oleh banyak pihak terlalu optimistik. Pembacaan pemerintah terhadap trend perkembangan perekonomian Indonesia pada tahun 2009 tidak akurat. Melambatnya laju perekonomian Indonesia sebagai dampak melambatnya laju perekoniman global tidak terprediksi dengan baik. Penurunan harga BBM sebagai akibat melambatnya perekonomian global juga kurang diperhitungkan dan diantisipasi oleh pemerintah.
Pada akhir tahun 2008 pemerintah mulai menyadari bahwa asumsi makroekonomi yang telah dibuatnya tidak lagi realistis sebagai dasar penyusun APBN 2009. Bahkan pemeritah telah menganggap perekonomian Indonesia dalam keadan krisis, sehingga pasal 23 UU No.41 Tahun 2009 dipergunakan. Adapun asumsi makroekonomi yang berubah secara sigifikan yaitu pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan harga minyak nasional. Ketiga asumsi makroekonomi tersebut berpegaruh besar terhadap besaran penerimaan, belanja, dan defisit APBN (postur APBN).
Dalam waktu 1 kali 24 jam, akhirnya Panitia Anggaran DPR RI mengesahkan Dokumen Perubahan Asumsi Penerimaan dan Belanja Negara yang dajukan pemerintah. Asumsi makroekonomi yang telah disepakati tersebut adalah sebagai berikut: Pertumbuhan ekonomi: 4,5 %, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 11.000,-, harga minyak ICP sebesar US$ 45 per barel, lifting minyak sebesar 960 ribu barel per hari, inflasi sebesar 6 %, dan SBI 3 bulan: tetap 7,5%. Bila dibandingkan dengan sumsi makroekonomi dalam APBN 2009, perubahannya adalah pada pertumbuhan ekonomi (minus1,5 %), inflasi (plus 0,2 %), nilai tukar rupiah (terdepresiasi Rp.1.600,-), dan harga minyak (minus US$ 35 / barel).
Sementara itu besaran pedapatan dan belanja negara adalah sebagai berukut: pendapatan negara sebesar Rp.847,7 trilyun, dengan rincian pendapatan pajak sebesar Rp.660,9 trilyun, dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp.185,9 trilyun, dan Hibah sebesar 0,9 trilyun. Sedangkan belanja negara sebesar Rp.987,2 trilyun, dengan rincian belanja pemerintah pusat sebasar Rp.683,5 trilyun, dan belanja pemerintah daerah sebesar Rp.303,1 trilyun. Dengan demikian besarnya defisit adalah sebesar Rp.139,5 trilyun. Bila dibandingkan dengan postur APBN 2009, perbedaanya adalah pendapatan negara (minus Rp.138 trilyun), belanja negara (minus Rp.49,9 trilyun), dan defisit ( plus 88,2 trilyun).
Defisit Anggaran dan Beban Utang
Dalam kondisi perekonomian yang sedang krisis, stimulus fiskal adalah tindakan yang lazim dilakukan pemerintah manapun untuk memacu perekonomian. Maka wajar jika Panitia Angaran DPRI RI menyepakati stimulus fiskal yang diajukan pemerintah. Besarnya stimulus fiskal tersebut adalah Rp.73,3 trilyun, yang berakibat pada meningkatnya defisit APBN menjadi 139,5 trilyun. Namun kemudian perlu dicermati mengenai alokasi stimulus fiskal tersebut, diamana Rp.56,3 trilyun untuk stimulus perpajakan dan kepabeanan, dan Rp.17 trilyun untuk stimulus belanja negara (12,2 trilyun didalamnya terdapat belanja infrastruktur). Dengan alokasi seperti ini, pihak yang mengharapkan porsi belanja infrastruktur yang besar dan berharap akan adanya penyerapan tenaga kerja secara massal akan kecewa. Bagaiaman tidak, misalnya belanja infrastruktur pertanian hanya Rp.300 milyar, dan infrastruktur perumahan rakyat Rp.400 milyar. Tidak akan banyak tenaga kerja yang terserap dan infrastruktur yang terbangaun.
Terlepas dari efektivitas stimulus fiskal terhadap kinerja perekonomian, pada era pemeritntahan SBY-JK, APBN selama ini selalu direncanakan defisit. Pada tahun 2005, defisit direncanakan Rp.24,94 trilyun dengan realisasi Rp.14,41 trilyun. Semenatara itu pada tahun 2006, defisit direncanakan Rp.39,98 trilyun dengan realisasi Rp.29,14 trilyun. Sedangkan pada tahun 2007, defisit direncanakan 58,29 trilyun dengan realisasi Rp.49,84 trilyun. Pada tahun 2008, defisit direncanakan Rp.73,1 trilyun dengan realisasi Rp.4,3 trilyun.
Secara teoritis, anggaran defisit adalah anggaran yang memang direncanakan defisit, pengeluaran pemerintah lebih besar dari penerimaannya. Hal ini ditempuh untuk merangasang pertumbuhan ekonomi, dengan cara meningkatkan permintaan agregat. Diharapkan, kemudian nantinya tambahan pendapatan akan lebih besar dari defisit pengeluaran yang direncanakan. Anggaran defisit juga diharapkan akan dapat menyerap tenaga kerja. Oleh karena itu, perlu dicermati pos-pos pengeluarannya, apakah akan berdampak ekspansif atau tidak?. Biarpun defisit, namun jika digunakan untuk membayar bunga utang dan cicilan utang (pos pembiayaan), maka dampak ekspansifnya tidak akan didapat. Dan hal inilah yang terjadi selama ini, defisit anggaran lebih banyak digunakan untuk membayar cicilan utang dan bunganya.
Defisit APBN selama ini dibiayai dengan penjualan aset negara (privatisasi) dan penarikan utang baru. Dengan semakin menipisnya aset yang bisa diprivatisasi, maka penarikan utang baru yang akan diandalkan. Terkait dengan anggaran yang selalu defisit, maka jumlah utang dan beban utang pemerintah juga semakin meningkat. Pada tahun 2005 stock utang (UDN dan ULN) sebesar Rp.1.200 trilyun dengan beban utang (bunga dan cicilannya) sebesar Rp.140 trilyun. Pada tahun 2006 stock utang (UDN dan ULN) sebesar Rp.1.300 trilyun dengan beban utang (bunga dan cicilannya) sebesar Rp.189 trilyun. Pada tahun 2007 stock utang (UDN dan ULN) sebesar Rp.1.380 trilyun dengan beban utang (bunga dan cicilannya) sebesar Rp.198 trilyun. Pada tahun 2008 stock utang (UDN dan ULN) sekitar Rp.1.400 trilyun dengan beban utang (bunga dan cicilannya) sekitar Rp.200 trilyun.
Dengan melihat APBN yang selalu defisit, dan jumlah utang, serta beban utang yang semakin meningkat, pantas bagi kita untuk khawatir dengan keberlangsungan fiskal Indonesia. Apalagi penerimaan negara dari SDA bisa dipastikan trendnya akan turun, karena semakin terkuras. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan kebijakan fiskal yang mendasar, jika tidak maka kebangkrutan fiskal Indonesia bukan merupakan sesuatu yang mustahil. Semoga tidak terjadi. (Ayib Rudi, peneliti Bright Institut, Jakarta)
PENERIMAAN DAN PENGELUARAN APBN
Jangan Anggap Remeh Aspek Migas, Sektor Migas Sangat Menentukan Terhadap Pos Pengeluaran APBN
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memiliki kegemaran melakukan revisi terhadap asumsi-asumsi (makro) APBN. Setidaknya, selama 9 tahun terakhir (2000-2008), asumsimakro APBN selalu mengalami perubahan. Revisi atau perubahan asumsi makro APBN tersebut lebih akrab dikenal dengan istilah APBN-P atau APBN-Perubahan.Dalam perspektif penulis, seringnya pemerintah melakukan revisi terhadap APBN, pada dasarnya lebih disebabkan oleh sikap kurang cermat atau cenderung memandang remeh dalam menentukan besaran asumsi yang menyangkut indikator-indikator fundamental di APBN.
Salah satunya yang utama tetapi dalam kenyataannya terbilang paling sering dianggap remeh dan oleh karenanya paling sering diubah adalah asumsi makro yang terkait dengan migas.
Sampai sejauh ini, postur APBN secara keseluruhan masih sangat sensitif terhadap perubahan indikator makro yang terkait migas yang berupa harga mi-nyak/Indonesian Crude Prices (ICP), lifting atau produksi, cost recovery, dan subsidi energi.
Pada 2008, penerimaan migas mencapai Rp303,06 triliun atau setara dengan 31,5% dari totalpenerimaan negara dan hibah pada tahun tersebut. Besarnya kontribusi penerimaan migas terhadap penerimaan negara, sebenarnya merupakan sinyal untuk kita semua agar lebih berhati-hati.
Kondisi tersebut semestinya bukan semata-mata dimaknai sebagai indikator keberhasilan kinerja sektor migas, tetapi lebih menjadi suatu indikator bahwa kinerja sektor perpajakan dan sektor-sektor lainnya belum maksimal sehingga penerimaan APBN masih harus (selalu) menggantungkan diri terhadap penerimaan migas.
Dua langkah
Dalam merespons sinyal tersebut, sebenarnya ada dua langkah pokok yang setidaknya dapat dilakukan. Pertama, terus berupaya meningkatkan kinerja di sektor ekonomi lain dan perpajakan khususnya, sehingga secara bertahap penerimaan APBN tidak lagi bergantung terhadap penerimaan migas.
Kedua, hal yang tidak kalah penting adalah berupaya menentukan besaran asumsi lifting dengan cermat dan tepat. Hal ini dikarenakan, di satu sisi penetapan asumsi lifting yang terlalu rendah akan berpotensi menurunkan kinerja sektor migas.
Sebaliknya, di sisi lain, asumsi lifting yang terlalu tinggi juga akan mendatangkan risiko fiskal terhadap APBN, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Jika realisasi lifting lebih rendah dibandingkan dengan target APBN, sementara di sisi belanja tidak dilakukan penyesuaian maka konsekuensi yang terjadi adalah adanya penambahan defisit.
Pilihan yang tersedia kemudi-an adalah antara melakukan penyesuaian (penurunan) belanja negara dari pendekatan pengeluaran atau melakukan pembiayaan (utang) untuk menutup defisit dari pendekatan penerimaan.
Jika ditinjau lebih jauh, aspek migas tidak hanya berpengaruh besar terhadap pos penerimaan APBN, tetapi juga sangat menentukan terhadap pos pengeluaran APBN.
Indikator migas yang mencakup harga minyak, cost recovery, dan subsidi energi memiliki pengaruh yang besar pada pos penge-luaran dan sangat menentukan terhadap daya tahan dan sus-tainabilitas APBN.
Penetapan asumsi harga minyak (ICP) yang terlalu rendah, berpotensi menambah defisit APBN akibat meningkatnya beban subsidi energi (BBM, listrik, LPG) yang harus ditanggung pemerintah jika pada akhir-nya realisasi harga minyak lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi di APBN. Jika hal tersebut terjadi, sementara pemerintah tidak menyediakan dana cadangan fiskal untuk subsidi energi, maka pilihan kebijakan selanjutnya yang tersedia (biasanya) adalah menaikan harga energi (BBM, listrik, LPG) yang akan memberatkan masyarakat baik dari aspek sosial maupun ekonomi.
Sementara itu, besaran cost recovery dan subsidi energi untuk tahun berjalan juga tak kalah menentukan dalam kaitan dengan sustainabilitas APBN. Pengeluaran untuk cost recovery secara langsung akan memengaruhi besaran bagi hasil migas yang akan diterima oleh negara. Semakin besar cost recovery yang dibayarkan, semakin kecil penerimaan migasyang akan diterima. Sehingga akan semakin kecil pula, anggaran yang dapat dibagikan untuk pos-pos pengeluaran (belanja) yang lain, baik itu untuk pos pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Sedangkan, untuk subsidi energi, jika dianggarkan terlalu tinggi maka akan semakin memperkecil porsi anggaran untuk pos-pos yang lain.
Sebaliknya, jika anggaran subsidi terlalu rendah, akan sangat membuka peluang terjadinya kebijakan kenaikan harga energi, jika pada praktiknya realisasi subsidi melebihi pagu anggaran yang telah ditetapkan.
Mengingat aspek migas sangat menentukan postur dan juga sustainabilitas APBN, maka hendaknya dalam menentukan besaran asumsi migas di APBN, pemerintah harus sungguh-sungguh cermat dan berhati-hati.
Terkait RAPBN 2010 yang baru saja digulirkan, dua asumsi makro yang utama, yaitu harga dan lifting minyak, kiranya perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Asumsi harga minyak US$60 per barel di tengah sentimen positif perbaikan ekonomi global yang mulai tampak kiranya cenderung terlalu rendah dan cukup berisiko, meskipun ini bisa diminimalkan dengan mengalokasikan cadangan fiskal yang cukup.
Lifting minyak sebesar 965 ribu barel per hari di tengah realisasi lifting yang hampir selalu tidak pernah-tercapai, rasanya justru hanya akan menjadi penam-bah beban fiskal saja karena terbilang cukup sulit untuk dicapai.
Tahun anggaran 2010 belum berjalan memang. Namun, tak ada salahnya meninjau kembali angka-angka yang sudah digulirkan secara lebih cermat dan bijaksana. Yang kila harapkan adalah dalam menentukan besaran asumsi indikator makro APBN, migas khususnya, tidak didasarkan (lagi) pada angka-angka yang cenderung populis dan politis.
Namun, angka-angka yang lebih kredibel, lebih feasible, dan lebih realistis serta mempertimbangkan asas kemampuan dan sustainabilitas APBN guna mencapai pembangunan yang lebih adil dan merata.
Sumber : Bisnis Indonesia
Oleh Tjatur Sapto Edy Anggota Komisi VII dan Panitia Anggaran DPR
Oleh Tjatur Sapto Edy Anggota Komisi VII dan Panitia Anggaran DPR
http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/63928/Bappenas-catat-pinjaman-luar-negeri-terserap-777
Tidak ada komentar:
Posting Komentar